Sumpah Pemuda: Dari Ikrar Persatuan ke Aksi Nyata di Zaman Now

 

Ilustrasi: CanvaAI

Setiap 28 Oktober, kita memperingati Sumpah Pemuda. Tapi jujur aja, buat sebagian orang, tanggal itu cuma jadi rutinitas upacara atau postingan quotes sejarah di Instagram. Padahal kalau dipahami bener-bener, Sumpah Pemuda bukan cuma teks klasik yang dibacakan dengan nada formal—tapi energi besar, tekad kolektif, dan spirit persatuan yang relevan banget dengan kondisi bangsa hari ini.

Sedikit Flashback: Apa Sih Sumpah Pemuda Itu?

Tahun 1928, anak-anak muda dari berbagai suku, agama, dan daerah berkumpul di Jakarta. Mereka ini bukan orang tua bangsawan, bukan pejabat, tapi pelajar, aktivis, mahasiswa, bahkan perantau dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan. Mereka sepakat membuat ikrar sederhana:

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Kalimatnya sederhana, tapi isinya mampu menyatukan pikiran, ego, bahkan identitas kesukuan yang selama ini jadi jurang pemisah. Itulah momen ketika kata “kita” lebih penting daripada “saya” dan “kalian”.

Makna Persatuan yang Gak Usang Ditelan Zaman

Yang keren dari Sumpah Pemuda adalah: dia gak membuang identitas suku atau budaya, tapi menyatukan semuanya dalam payung besar bernama Indonesia. Artinya, kita tetap bisa jadi orang Jawa, Bugis, Minang, Dayak, Batak, tapi ketika bicara Indonesia—kita berdiri di barisan yang sama.

Di zaman sekarang, makna ini makin relevan meski tantangannya beda. Bukan lagi penjajahan fisik, tapi tantangan digital: hoaks, perpecahan di media sosial, politik identitas, sampai sikap “gue yang bener, lo yang salah”. Kalau dulu musuhnya kolonialisme, sekarang musuhnya bisa jadi ketidakpedulian dan ego masing-masing.

Lalu, Aktualisasinya di Era Kekinian Itu Kayak Apa?

Persatuan bukan cuma soal upacara dan menghafal teks Sumpah Pemuda, tapi gimana nilai itu diterjemahkan dalam tindakan nyata. Misalnya:

  • Bijak di Media Sosial. Persatuan zaman now bisa dimulai se-simple nggak ikut-ikutan menyebar hoaks, ujaran kebencian, atau konten yang memecah belah. Jempol kita sekarang bisa jadi alat perang, atau alat merawat persaudaraan.
  • Kolaborasi Tanpa Sekat Suku dan Agama. Startup, komunitas sosial, gerakan lingkungan, industri kreatif—banyak banget yang sukses karena kolaborasi lintas latar belakang. Ini versi modern dari “satu nusa, satu bangsa”.
  • Bangga, Tapi Gak Sempit. Bangga jadi orang Sunda, Jawa, Aceh, Papua, itu wajar. Tapi jangan sampai kebanggaan itu bikin kita lupa kalau semua identitas itu punya rumah besar yang sama: Indonesia.
  • Merawat Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lahir dari Sumpah Pemuda. Di tengah tren campur-campur bahasa asing, tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama komunikasi dan karya adalah bagian dari menjaga warisan ikrar mereka.

Kalau Para Pemuda 1928 Bisa, Masa Kita Enggak?

Bayangin, mereka gak punya internet, gak punya handphone, apalagi followers. Tapi mereka bisa menyatukan visi, melampaui sekat suku dan daerah. Kita yang hidup di era serba mudah, semestinya bisa lebih hebat. Minimal, mulai dari hal kecil: menghargai perbedaan, aktif berkontribusi, dan berhenti nyinyir tanpa solusi.


Penutup

Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, tapi napas yang harus terus dijaga. Persatuan bukan hanya dikatakan, tapi dihidupkan. Dan tugas itu, mau gak mau, sekarang ada di tangan kita. 

Kalau semangat mereka bisa membangun bangsa dari nol, semangat kita hari ini harus jadi bahan bakar untuk menjaga, merawat, dan membawa Indonesia lebih maju.

/Tto

Berita Pilihan

Lebih baru Lebih lama