Tetap Jujur Meski Dunia Sibuk Berbohong

 

Ilustrasi: Gemini

Di zaman ketika berita bohong bisa melesat lebih cepat dari kecepatan jari mengetik, kejujuran terasa seperti barang langka. Scroll sebentar saja di media sosial, kita sudah disuguhi berita heboh yang belum tentu benar. Di grup chat keluarga, pesan terusan berseliweran dengan judul menggelegar. Di tengah hiruk pikuk seperti ini, mempertahankan kejujuran memang terasa mahal. Tapi justru karena mahal itulah, ia jadi bernilai.


Jujur: Fondasi Akhlak yang Tak Pernah Kedaluwarsa


Kejujuran bukan cuma soal berkata apa adanya. Ia adalah sikap hidup: pikiran, ucapan, dan tindakan, yang selaras dengan kebenaran. Dalam Islam, kejujuran adalah fondasi akhlak mulia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)” (QS At-Taubah:119).


Teladan paling indah tentu Rasulullah ﷺ. Sejak muda, beliau sudah dikenal sebagai Al-Amin, yang Terpercaya. Masyarakat Mekah—bahkan orang yang memusuhinya—mengakui kejujurannya. Mereka menitipkan harta, meminta pendapat, dan yakin beliau tak akan menipu. Kepercayaan terhadap Rasulullah ﷺ seperti itu bukan datang tiba-tiba; ia tumbuh dari konsistensi kejujuran sejak usia belia.


Mengapa Sekarang Jujur Terasa Mahal?


Di era teknologi, kebohongan jadi jauh lebih mudah dilakukan. Sekali klik, kita bisa menyalin, memotong, atau memanipulasi informasi. Mencontek tugas, menjiplak ide, atau membuat “white lies” seolah sepele karena semua serba instan.


Belum lagi tekanan sosial untuk selalu update, atau budaya fear of missing out (FOMO). Banyak orang takut terlihat ketinggalan informasi, berkeinginan untuk selalu tahu dan atau terlihat tahu Akibatnya, berita apa pun langsung dibagikan tanpa sempat dicek. Kadang kita pun tergoda ikut arus, meski ragu kebenarannya. Di balik itu, ada juga godaan keuntungan instan: kebohongan sering dianggap jalan pintas menuju popularitas, sensasi, atau ... cuan. Padahal, kecepatan tanpa ketelitian adalah lahan subur untuk hoaks.


Dampak Kejujuran: Menyejukkan Sosial, Menenangkan Spiritual


Kejujuran itu seperti udara segar—semua orang merasakannya. Dalam kehidupan sosial, ia menumbuhkan rasa saling percaya. Persahabatan jadi lebih awet, keluarga lebih harmonis, bisnis lebih kokoh. Lingkungan kerja yang jujur jauh dari drama karena tak ada yang perlu disembunyikan.


Dalam kehidupan spiritual, kejujuran adalah tanda iman. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa kejujuran menuntun pada kebaikan, dan kebaikan menuntun ke surga. Orang jujur hidup lebih tenang, tak perlu repot menutup-nutupi kebohongan atau takut ketahuan.


Cara Mempertahankan Kejujuran


Menjadi jujur memang butuh latihan, tapi bukan berarti mustahil. Beberapa langkah sederhana bisa kita mulai:

  • Tabayyun dulu sebelum share. Biasakan cek fakta, meski hanya butuh satu dua menit ekstra dan beberapa byte kuota. 
  • Bangun integritas pribadi. Pegang prinsip meski tidak ada yang melihat. 
  • Pilih media yang sehat. Batasi konten sensasional, fokus pada sumber terpercaya.
  • Cari lingkungan yang mendukung. Bertemanlah dengan orang-orang yang menghargai kejujuran.
  • Muhasabah setiap hari. Ingat bahwa Allah selalu mengawasi, bahkan ketika manusia tidak.

Saatnya Berani Jujur


Kejujuran mungkin terasa mahal, tapi kebohongan jauh lebih mahal harga tebusnya. Satu kebohongan bisa merusak kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun.


Mari kita jadi pribadi yang berani berkata benar meski pahit. Jadikan kejujuran sebagai investasi jangka panjang—mungkin berat di awal, tapi hasilnya ketenangan batin dan kepercayaan orang lain yang tak ternilai.


Di era hoaks seperti sekarang, jujur memang bukan pilihan yang populer. Tapi justru itu membuatnya semakin istimewa. Yuk, mulai dari diri sendiri: pikirkan dua tiga kali sebelum berbicara, tiga empat kali sebelum menyebarkan informasi. Karena kejujuran adalah kemewahan yang hanya bisa dimiliki mereka yang berani.


/Tto

Berita Pilihan

Lebih baru Lebih lama