Benar Tapi Menyakitkan? Yuk, Belajar Menyampaikan dengan Hikmah

 

Ilustrasi: GeminiAI

Pernah nggak sih, kita merasa sudah menulis sesuatu yang baik di media sosial—niatnya mengingatkan, berbagi inspirasi, atau menyebar kebaikan—eh, tapi malah menuai komentar pedas, atau bahkan salah paham? Padahal, niatnya sungguh mulia. Cuma ingin mengajak pada kebaikan. Tapi entah kenapa, yang datang justru debat kusir dan hati yang panas.


Ya, begitulah dunia medsos. Tempat yang bisa membuat niat baik terlihat buruk, hanya karena cara menyampaikannya kurang bijak.



Kebaikan Itu Harus Disampaikan


Islam mengajarkan kita untuk tidak menyimpan kebaikan sendirian. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”Artinya, siapa pun punya kewajiban untuk menyebarkan kebaikan, sekecil apa pun itu.


Posting kutipan Al-Qur’an, berbagi cerita inspiratif, menulis refleksi iman, atau bahkan sekadar mengingatkan teman untuk bersabar—semuanya bisa menjadi ladang amal.


Namun, kebaikan itu tidak hanya diukur dari apa yang disampaikan, tapi juga bagaimana ia disampaikan.



Ketika Kebaikan Tak Lagi Terasa Baik


Sering kali, niat baik kita justru kehilangan maknanya karena cara yang kurang tepat. Misalnya, menegur seseorang di kolom komentar dengan nada menghakimi, atau menulis status yang keras tanpa mempertimbangkan siapa pembacanya.

Kebaikan yang disampaikan dengan cara yang kasar bisa berubah jadi batu sandungan. Alih-alih membuat orang sadar, malah membuat mereka menjauh.


Padahal, Rasulullah ﷺ dikenal bukan hanya karena kebenaran ucapannya, tapi juga kelembutan tutur katanya.

Beliau mengajarkan bahwa kebijaksanaan bukan berarti menunda kebenaran, melainkan memastikan kebenaran itu sampai dengan cara yang bisa diterima.



Menjadi Bijak Itu Butuh Perasaan


Bijak itu bukan sekadar pintar memilih kata, tapi juga peka membaca suasana. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sebelum menyampaikan kebaikan, apalagi di ruang publik seperti media sosial:

  1. Bahasa dan diksi. Gunakan kata yang lembut, bukan sarkasme atau sindiran. Kebaikan tak butuh bumbu pedas untuk terasa kuat.
  2. Intonasi. Kalau lewat video atau rekaman, sampaikan dengan nada tenang dan penuh empati. Nada tinggi sering kali membuat pesan tenggelam di balik emosi.
  3. Kenali audiens. Setiap orang punya latar belakang dan cara pandang berbeda. Jangan samakan bahasa kita di grup keluarga dengan di forum publik.
  4. Perhatikan konteks dan kebiasaan setempat. Apa yang sopan di satu tempat bisa dianggap menyinggung di tempat lain.
  5. Luruskan niat. Jangan sampai kebaikan yang disampaikan justru dibungkus keinginan untuk terlihat paling benar.



Kiat Praktis Menyampaikan Kebaikan Secara Bijak


Kadang, yang kita butuhkan hanya jeda satu detik sebelum menekan tombol “kirim.”
Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah kata-kata ini akan membuat orang merasa terinspirasi, atau malah tersinggung?” Cobalah pendekatan empatik: pahami dulu perasaan orang yang kita tuju.


Gunakan contoh nyata, cerita ringan, atau humor yang sehat agar pesan terasa lebih manusiawi. Dan jika ingin menegur, lakukan secara pribadi. Tidak semua kebenaran harus diumumkan di ruang terbuka.


Yang tak kalah penting, jadilah teladan. Orang lebih mudah menerima kebaikan dari orang yang melakukannya, bukan hanya mengatakannya.



Tak Semua Akan Suka, Tapi Jangan Berhenti


Meski sudah hati-hati, tetap saja akan ada yang tidak suka. Itu wajar. Bahkan Nabi pun ditolak oleh sebagian kaumnya, padahal beliau sebijak-bijaknya manusia. Kita pun akan menemui hal serupa di medsos. Akan ada yang salah paham, akan ada yang menuduh sok suci.


Kalau begitu terjadi, jangan buru-buru marah. Introspeksi iya, tapi jangan berhenti. Perbaiki cara, perhalus bahasa, tapi teruslah menyebar kebaikan. Karena dunia ini terlalu bising oleh keburukan untuk kita memilih diam.



Terus Bergerak, Tetaplah Bijak


Di tengah derasnya arus opini dan komentar, kita butuh lebih banyak suara yang menenangkan.
Lebih banyak kata yang menyembuhkan, bukan melukai. Lebih banyak postingan yang membuat orang tersenyum, bukan saling curiga.


Jadi, mari terus bergerak menyebarkan kebaikan—dengan hati yang jernih dan tutur yang lembut. Sebab pada akhirnya, kebaikan bukan sekadar soal isi pesan, tapi cara kita membuat orang ingin mendengarkannya.

“Bijak itu bukan menunda kebaikan, tapi memastikan kebaikan sampai ke hati, bukan hanya ke telinga.”



/Tto 

Berita Pilihan

Lebih baru Lebih lama