![]() |
| Ilustrasi: CanvaAI |
Kalau kita tengok sejarah, umat Islam bukan cuma diperintahkan salat, puasa, atau zakat. Ada satu nilai besar yang sering kita dengar tapi kadang lupa dijalani: ukhuwah Islamiyah—persaudaraan sesama Muslim. Ini bukan istilah berat. Sederhananya, Islam ingin kita saling sayang, saling jaga, nggak saling menjatuhkan, apalagi memusuhi. Allah sendiri bilang dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” Jadi, persaudaraan itu bagian dari iman, bukan sekadar pilihan sosial.
Di masa Rasulullah, ukhuwah itu bukan cuma jargon. Begitu Nabi hijrah ke Madinah, beliau memperkenalkan kaum Muhajirin dari Makkah dengan kaum Ansar dari Madinah dan mempersaudarakan mereka. Cara kaum Ansar menyambut bukan sekadar kasih tumpangan tidur, tapi sampai berbagi rumah, kebun, bahkan harta. Sa’ad bin Rabi’ pernah bilang ke Abdurrahman bin Auf, “Aku punya dua kebun dan dua istri. Pilih salah satu, akan aku serahkan untukmu.” Abdurrahman menolak dengan sopan dan hanya bilang, “Tunjukkan pasar.” Tapi cerita itu cukup membuktikan kalau ukhuwah bukan cuma soal kata-kata manis.
Ada juga kisah haru di Perang Uhud. Beberapa sahabat terluka parah dan hampir kehabisan napas. Mereka kehausan. Saat air diberikan, masing-masing malah bilang, “Kasih ke saudara yang itu dulu, dia lebih butuh.” Sampai akhirnya, tidak satu pun sempat minum karena mereka wafat satu per satu. Ini level tertinggi dari ukhuwah: mendahulukan saudaranya dibanding dirinya sendiri.
Nilai-nilai ini sebenarnya sangat relevan untuk kita di Indonesia. Kita adalah negeri dengan jumlah Muslim sangat besar. Artinya, kalau ukhuwah ini benar-benar hidup di antara kaum Muslimin, persatuan bangsa ini punya modal kuat dari dalam. Karena ketika umat Islam rukun, otomatis konflik horizontal bisa diredam. Kehidupan sosial jadi adem, dan upaya memecah-belah jadi lebih sulit masuk.
Persatuan dalam ukhuwah juga sejalan dengan semangat kebangsaan Indonesia. Bedanya, Sumpah Pemuda menekankan “satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air”, sementara ukhuwah Islamiyah bicara “satu iman, satu hati”. Keduanya tidak saling bertabrakan, malah saling menguatkan. Kalau umat Islam bersatu, mereka bisa ikut menjaga keutuhan bangsa. Kalau bangsa ini kuat, umat bisa beribadah dan berdakwah dengan tenang.
Yang menarik, ukhuwah Islamiyah ini nggak punya masa kedaluwarsa. Zaman berubah, teknologi maju, informasi bertebaran di medsos. Tapi kebutuhan untuk saling percaya dan saling dukung tetap sama.
Hari ini, perpecahan bisa muncul dari komentar di Instagram, dari perbedaan pilihan politik, atau dari potongan video yang menyesatkan. Di situ kita butuh ukhuwah—bukan karena kita harus selalu setuju dalam segala hal, tapi karena kita tetap saudara meskipun berbeda pendapat.
Membangun ukhuwah juga nggak harus dimulai dari gerakan besar. Mulai saja dari hal paling kecil: menjaga lisan di media sosial, tidak mudah menyebarkan kebencian, bantu teman yang sedang kesulitan, menahan diri untuk tidak merendahkan sesama Muslim hanya karena beda pandangan. Ukhuwah itu dimulai dari hati, lalu tampak dalam sikap dan perkataan.
Kalau nilai ini hidup, umat Islam jadi lebih solid. Dan kalau mayoritas rakyat Indonesia solid, persatuan bangsa pun ikut kokoh. Jadi, ukhuwah Islamiyah bukan cuma ajaran agama yang indah, tapi juga kekuatan sosial dan politik yang bisa menjaga Indonesia tetap berdiri di tengah perubahan zaman.
/Tto
