![]() |
| Ilustrasi: CanvaAI |
Coba bayangkan pagi yang tenang di sebuah taman kota. Udara lembap selepas hujan malam, embun masih bergelayut di ujung daun, dan suara burung bersahutan di sela gemerisik dedaunan. Orang-orang berjalan santai, sebagian berolahraga ringan, sebagian duduk di bangku sambil menatap langit. Di tengah kesibukan hidup yang serba cepat, ruang terbuka hijau seperti ini menjadi oase yang menyejukkan. Tempat untuk menarik napas dalam-dalam dan kembali mengingat: hidup ini bukan hanya soal berlari, tapi juga tentang berhenti sejenak dan menyadari kehadiran Allah lewat ciptaan-Nya.
Berada di taman bukan sekadar jalan-jalan. Ini bisa menjadi bentuk mindfulness — kesadaran penuh terhadap saat ini. Ketika kita menghirup udara segar, menyentuh rerumputan, atau menatap langit biru, sebenarnya kita sedang mengembalikan diri pada fitrah: makhluk yang diciptakan untuk mengenali dan mensyukuri Tuhannya. Allah berfirman, “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Adz-Dzariyat: 20). Maka setiap pohon yang tumbuh, setiap angin yang berhembus, adalah ayat-ayat yang hidup dan berbisik tentang kebesaran-Nya.
Udara segar yang kita hirup di taman adalah nikmat sederhana yang sering kita abaikan. Di tengah kota yang penuh polusi dan asap kendaraan, udara bersih terasa seperti anugerah langka. Tubuh menjadi lebih ringan, kepala lebih jernih, hati pun terasa lapang. Tak heran, banyak penelitian menunjukkan bahwa berjalan di ruang hijau bisa menurunkan stres, menenangkan pikiran, bahkan memperbaiki suasana hati. Bukankah Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk menjaga kesehatan, karena badan yang kuat lebih dicintai Allah daripada yang lemah?
Selain menenangkan diri, taman juga tempat bersosialisasi. Di sana, kita bisa bertemu orang baru, menyapa tetangga, atau sekadar berbagi senyum. Islam mengajarkan bahwa senyum adalah sedekah. Sapa dengan salam adalah doa. Kata-kata baik adalah bagian dari iman. Jadi, saat kita berinteraksi di ruang terbuka hijau, itu bukan hanya bentuk kesopanan sosial, tapi juga latihan akhlak yang indah — membangun hubungan baik dengan sesama makhluk Allah.
Namun, keindahan taman hanya akan bertahan jika kita ikut menjaganya. Jangan merokok di area hijau, karena asapnya mencemari udara yang seharusnya bersih untuk semua. Jangan buang sampah sembarangan; menjaga kebersihan adalah bagian dari iman. Dan jangan ganggu atau merusak tanaman — mereka pun makhluk Allah yang bertasbih dengan caranya sendiri. Bukankah aneh jika di tempat kita belajar tenang justru kita meninggalkan jejak kerusakan?
Menjaga taman juga berarti memperbaiki akhlak kita di dalamnya. Cobalah untuk hadir sepenuhnya: hirup udara dengan rasa syukur, pandang langit sambil mengingat kebesaran-Nya, dan saat berjumpa orang lain, sambut dengan senyum, sapa, dan salam. Jaga lisan, jangan kasar, jangan kotor. Sebab taman bukan sekadar ruang hijau, tapi ruang batin — tempat kita melatih diri untuk lebih sadar, lebih lembut, dan lebih berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Pada akhirnya, ruang terbuka hijau adalah cermin dari hati kita. Bila ia terawat dan damai, mungkin hati kita pun ikut tenang. Maka, lain kali ketika kau melangkah di taman, jangan hanya berjalan. Rasakan setiap hembusan angin, setiap aroma tanah, dan setiap cahaya matahari yang menembus dedaunan. Karena di sanalah, dalam keheningan hijau, kita belajar mindfulness — kesadaran penuh untuk hidup lebih bersyukur, lebih berakhlak, dan lebih dekat dengan Allah.
/Tto
